Rabu, 28 November 2012 0 komentar

Tugas Bahasa Indonesia 3

Padanan Kata dalam Bahasa Indonesa :

1. Abnormal perfomanca index              : Penampilan pengenal yang tak normal
2. Adjustment                                           : Pengaturan
3. Adjusted price                                      : Disesuaikan harga
4. Administrative expenses                     : Beban administrasi
5. Advance payment                                : Memilahara
6. Audit working paper                           : Kertas kerja audit
7. Automatic premium loan                    : Otomatis premi pinjaman
8. Bank line                                               : Batas bank
9. Blanket expense policy                        : Kebijakan biaya seluruh harta
10. Capital adequacy ratio (CAR)            : Rasio kecukupan modal
11. Cash disbursement                              : Pembayaran tunai
12. Certified public accountant                : Sertifikat akuntan punlik
13. Checking account                                : Rekening giro
14. Collective rights of stockholders         : Hak-hak kolektif pemegang saham
15. Competitive bid                                   : Penawaran kompetitif
16. Completion bond                                  : Penyelesaiaan obligasi
17. Conditional sale floater (insurance)   : Penjualan asuransi bersyarat
18. Consumer debenture                           : Konsumen obligasi
19. Continuous budget                              : Anggaran terus-menerus
20. Cost forecasting                                    : Ramalan biaya
21. Cost of goods sold                                 : Harga pokok penjualan
22. Economic  entity                                   : Kesatuan usaha ekonomi
23. Economic class                                      : Kelas ekonomi
24. Financial intermediary                         : Perantara keuangan
25. Financial reporting                               : Laporan keuangan

Berikut 5 kata dalam bentuk kalimat efektif :

1. Pembayaran tunai (Cash disbursement)
    - Pak Edy membeli 1 unit mobil dengan melakukan pembayaran tunai
2. Rekening giro (Checking account)
    - Ibu Eno membuka rekening giro di Bank Gunadarma cabang salemba
3. Laporan keuangan (Financial reporting)
    - Laporan keuangan perusahaan diterima oleh Direktur setiap akhir tahun
4. Kelas ekonomi (Economic class)
    - Kelas ekonomi merupakan kelas unggulan di Unversitas Selalu Benar
5. Anggaran terus-menerus (Continuous budget)
    - Akibat bencana gempa bumi perusahaan batu bara mengeluarkan anggaran
    terus-menerus untuk memperbaiki kerusakan pertambangan

Nama kelompok :
Agung Satrio                     (20210312)
Heru Hermawan               (23210282)
Putra Agung Rachman     (25210426)
Minggu, 04 November 2012 0 komentar

Tugas Bahasa Indonesia 2


Salah satu bentuk esei kritik ialah tinjauan buku. Kalian harus menemukan buku penunjang dalam bidang Akuntansi (buku populer). Untuk tugas ini, kalian harus membedakan antara tujuan tinjauan dan tujuan buku tersebut. Jadi tugas kalian ada 2, yaitu apa tujuan kalian melakukan tinjauan buku X dan apa tujuan penulis menyusun buku tersebut. Selanjutnya, tugas kalian adalah:
  1. Jelaskan apa tujuan esei kritik tinjauan buku tersebut.
  2. Tujuan penulis buku tersebut.
Kalian harus memberikan rangkuman buku dan memberikan kesimpulan bahwa buku tersebut baik untuk dibaca atau tidak untuk dibaca. 

Buku tinjauan kami :

Auditing dan Jasa Assurance Pendekatan Terintegrasi, Jilid I, Edisi Keduabelas
Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley

Tujuan kami meninjau buku
  1. Mengetahui proses auditing kerangka kerja audit aktual, dari awal hingga akhir.
  2. Memperoleh informasi terkini pada pengujian dan pelaporan tentang pengendalian internal audit.
  3. Memperoleh informasi yang handal termasuk cakupan komprehensif mengenai Risk Assessment Standards yang baru diterbitkan.
Tujuan Penulis Menulis Buku
Memadukan konsep-konsep auditing yang paling penting dengan cara yang logis untuk membantu pada mahasiswa memahami pengambilan keputusan audit dan pengumpulan bukti dalam lingkungan auditing yang kompleks saat ini. Sebagai contoh, standar penilaian risiko yang diterbitkan oleh Auditing Standards Board ( SAS 103-111) dipadukan kedalam semua bab perencanaan, serta ke setiap bab yang membahasas siklus transaksi tertentu beserta akun-akun terkait. Pengendalian internal dihubungkan dengan pengujian atas pengendalian serta pengendalian substantif atas transaksi yang dilakukan baik dalam audit laporan keuangan maupun pengendalian internal atas pelaporan keuangan. Pengujian atas pengendalian dan pengujian substantif atas transaksi, pada gilirannya, dihubungkan dengan pengujian atas rincian saldo laporan keuangan untuk bidang tersebut. Sampling audit diterapkan pada evaluasi bukti audit dan tidak diperlakukan sebagai topik yang terpisah. Masalah penilaian resiko, teknologi, kecurangan, serta audit pengendalian internal dipadukan ke dalam semua bab.

RANGKUMAN
Buku ini berisi tentang mencakup pembahasan tentang standar penilaian risiko yang baru dan standar-standar baru yang berkaitan dengan komunikasi dengan pihak-pihak yang memikul tanggung jawab tata kelola (SAS No. 112 dan 14). Penekanan utama dalam buku teks ini adalah pada proses pengambilan keputusan oleh auditor, baik dalam audit laporan keuangan maupun audit pengendalian internal atas pelaporan keuangan. Konsep-konsep paling mendasar dalam auditor setelah mempertimbangkan keadaan-keadaan yang unit dalam setiap penugasan.

KESIMPULAN
Menurut kami buku ini baik untuk di baca karena buku ini di maksudkan untuk dipakai dalam mata kuliah satu triwulan atau satu semester pada jenjang sarjana atau pascasarjana. Buku ini juga tepat untuk kursus-kursus pengembangan profesi yang bersifat pengenalan bagi kantor akuntan publik, auditor internal, dan auditor pemerintah. Jika mahasiswa mempelajari auditing memahami tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam bidang audit tertentu, risiko yang berkaitan dengan penugasan itu, serta keputusan yang harus diambil, mereka pasti bisa menentukan bukti yang tepat yang harus dikumpulkan dan mengetahui cara mengevaluasi bukti yang diperoleh.

Nama Kelompok :
Agung Satrio                      20210312
Heru Hermawan               23210282
Putra Agung Rachman   25210426

Kelas : 3 EB 06
Sabtu, 03 November 2012 0 komentar

Tugas Bahasa Indonesia 1

1. Beri komentar tentang artikel berikut ini:
Pemasaran adalah merupakan salah satu kegiatan utama dalam bidang perekonomian, disamping kegiatan produksi dan konsumsi. Konsumsi baru bisa terlaksana setelah adanya kegiatan produksi dan pemasaran. Dengan kata lain, produksi dan pemasaran dapat membantu terlaksananya tujuan konsumsi. Pemasaran jika kita lihat berada diantara produksi dan konsumsi, yang berarti bahwa pemasaran menjadi penghubung antara dua faktor tersebut. Dalam kondisi perekonomian sekarang ini, tanpa adanya pemasaran orang sulit mencapai tujuan konsumsi yang memuaskan. Betapapun baiknya produk yang dihasilkan, jika orang lain tidak mengetahuinya, maka produk tersebut sulit akan laku.
Jelaskan selengkap mungkin apa, kesalahan yang kalian temukan pada artikel di atas !!!

JAWAB

Kesalahan yang ditemukan pada artikel :
  • banyak kalimat-kalimat yang tidak efektif misalnya: kalimat adalah dan merupakan , yang berarti bahwa seharusnya dipilih salah satu saja, karena kalimat tersebut merupakan penjelasan.
  • kalimat jikat kita lihat dan akan masing-masing pada baris ke-3 dan 5 seharusnya kalimat tersebut dihilingkan saja agar lebih efektif.
  • Artikel sulit di pahami karena banyak kalimat yang di pakai berulang-ulang.

Komentar :
pemasaran sangat berperan penting dalam kegiatan penjualan, karena tanpa pemasaran orang-orang tidak dapat mengetahui produk apa yang kita jual, dengan pemasaran kita dapat menarik pelanggan agar membeli barang-barang yang kita jual dan dengan pemasaran juga kita dapat meningkat tingkat perolehan laba yang kita terima. Jadi pemasaran memang sangat berperan penting dalam bidang perekonomian.

2. Pemukiman kumuh sering diidentikkan dengan kemiskinan, bahkan hasil penelitian Ismail (1991:1) menunjukkan bahwa pertumbuhan pemukiman kumuh berhubungan positif dengan problema kemiskinan penduduk. Semakin banyak penduduk miskin di perkotaan, semakin meningkat jumlah pemukiman (kampong) kumuh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk pemukiman kumuh merupakan masyarakat miskin. Keterbatasan ekonomi dan keadaan social yang kurang mendukung mengakibatkan lapisan penduduk marjinal DKI Jakarta dengan terpaksa dan atau sengaja bermukim di pemukiman kumuh. Di antara mereka bahkan mendirikan bangunan liar pada lokasi yang tidak diperuntukkan sebagai pemukiman atau pada lahan milik pihak lain. Timbul masalah kesehatan yang mendasar, seperti: masalah air minum, tinja, sampah, sanitasi makanan, serangga dan pencernaan yang disebabkan oleh timbulnya pemukiman kumuh. Permasalahan kesehatan tersebut yang telah menjadi problematika bagi masyarakat maupun aparat pemerintah.
Berdasarkan artikel no 2 susun (1) Rumusan masalah, (2) Tujuan penelitian !!!

JAWAB  

Rumusan Masalah : 
  1. Apa yang menyebabkan mengapa pemukiman kumuh dan tingkat kemiskinan terus meningkat ?
  2. Masalah apa saja yang timbul akibat dari pemukiman kumuh yang terus meningkat ?
  3. Bagaimana cara pemerintah untuk menangani permasalahan tersebut ?

Tujuan penelitian :
  • Untuk mengetahui apa penyebab pemukiman kumuh itu bisa timbul.
  • Untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang timbul akibat dari pemukiman kumuh.
  • Untuk mengetahaui bagaimana pemerintah menangani permasalahan tersebut.


Nama Kelompok :  
Agung Satrio                      20210312 
Heru Hermawan               23210282
Putra Agung Rachman   25210426

Kelas : 3 EB 06 


Senin, 04 Juni 2012 0 komentar

Hukum Perdata 2


 disusun oleh:

AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )

KELAS : 2 EB 06

Batas-batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana Kaitannya dengan Hukum Pidana Korupsi
Oleh : Hisar Tambunan, SH.,MH

Abstraksi
Sejarah bangsa ini dalam usaha untuk memberantas perbuatan korupsi boleh dibilang telah cukup panjang. Secara formal setidak-tidaknya telah lahir empat generasi undang-undang yakni undang-undang No. 24 Prp tahun 1960, Undang-undang No.3 tahun 1971, undang-undang No.31 tahun 1999, dan terakhir undang-undang No.20 tahun 2001. Semua produk undang-undang itu merupakan kebijakan formulatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kesadaran terhadap pemberantasan korupsi juga dijiwai oleh nilai-nilai yang berubah dari masa ke masa.Kalau pada awal-awal aksi pemberantasan korupsi nilai yang dianut adalah bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional.Dalam perkembangannya perbuatan korupsi dipandang sebagai penghambat bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, dan pada akhirnya perbuatan korupsi dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas sehingga pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Menyadari hal itu maka lembaga Negara tertinggi, MPR, sampai-sampai mengeluarkan produk berupa Tap No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Keseluruhan usaha diatas harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dalam arti bahwa telah tumbuh kesadaran bersama sedemikian rupa guna melakukan reformasi terhadap substansi perundang-undangan agar legalitas pemberantasan korupsi makin lengkap dan kokoh.Lengkap karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai legalitas bagi pengadilan untuk mengadili terdakwa korupsi makin lengkap.Di samping itu dukungan dari sisi hukum acara, penegak hukum dan masyarakat luas baik nasional maupun internasional serta seluruh sistem yang terkait tidak kalah penting dalam turut memberantas tindak pidana korupsi.
Dari sekian aspek penting yang dapat dibaca dalam pengantar, saya akan melihat bagian tertentu dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi dalam penegakan hukum khususnya proses kriminalisasi yakni perihal aspek perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)dalam hukum perdata atau perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hukum pidana.

Wederrechtelijk
Bagian itu menjadi penting utamanya dalam konteks kriminalisasi karena sejak keluarnya Undang-undang No.3 Tahun 1971, kata “melawan hukum” yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menjadi semacam ‘bestanddeel delict’ atau delik inti dari suatu perbuatan korupsi {Pasal 1 ayat (1) huruf a}. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 mengulanginya lagi dalam Pasal 2 ayat (1)-nya.
Saya akan mulai dari ‘wederrechtelijk’ dalam hukum pidana. Telah diketahui secara luas bahwa suatu perbuatan pidana (strafbaarfeit) intinya adalah feit yang ‘wederrechtelijk’ atau perbuatan yang melawan hukum.Ukuran normatif untuk menentukan dapat dipidananya perbuatan dalam hukum pidana sudahlah jelas karena Hukum Pidana memiliki asas umum yang harus dijunjung tinggi yakni asas legalitas (legality principle), Nullum delictum nulla poena sinepraevia legi poenali –tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya-. Sering juga dipakai istilah ‘Nullum crimen sine lege stricta’ -tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas- yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi jelas bahwa untuk adanya pidana (straf) harus didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum Pidana Korupsi adalah hukum pidana khusus. Sebagai hukum pidana khusus maka asas-asasumum (algemene beginselen) yang terdapat dalam Buku I KUHP berdasar Pasal 103 KUHP dapat berlaku untuk tindak pidana khusus diluar KUHP kecuali ia menentukan lain. Dengan demikian langkah pemberantasan korupsi harus dimulai dan selalu didasarkan pada formulasi perundang-undangan.Hal itu –seperti saya katakana di atas- telah dimulai secara formal pada tahun 1964-.
Kembali kepada persoalan ‘melawan hukum ‘. Diketahui pula bahwa dalam hukum pidana –seperti juga dalam hukum perdata yang akan saya uraikan kemudian- telah terjadi pergeseran pengertian mengenai ajaran sifat melawan hukum. Doktrin yang kemudian terkristal dalam Arrest Hoograad pertama-tama mengartikan melawan hukum sebagai ‘melawan undang-undang’ (wet). Ini harus dimengerti karena apabila kita menengok pada sejarah lahirnya asas legalitas, antara lain karena pertimbangan adanya asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang, sehingga dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et DuCitoyen tahun 1789 dinyatakan :‘Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya’. Mr.Simons adalah salah seorang yang menganut ajaran formil ini.
Ajaran itu mulai bergeser kea rah pendirian melawan hukum yang materiil yang di negeri Belanda pertama-tama ditandai dengan keluarnya Arrest Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu LindenbaumCohen Arrest. Dalam Arrest itu H.R Belanda menyatakan bahwa : “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang
bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”. Mr.Vost adalah salah satu penganut ajaran ini.
Namun demikian, dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan diancam dengan pidana (tentu di lapangan hukum pidana) seperti sudah saya katakan di atas harus tunduk pada asas legalitas (formil) yang tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.Dengan demikian ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif, tidak dianut dalam hukum pidana.Sebaliknya hukum pidana (termasuk Hukum Pidana Indonesia) berpendirian untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Di negeri Belanda sendiri fungsi negatif ini telah dianut tersebut dalam Arrest Dokter Hewan dari kota Huizen (Putusan H.R. 20 Februari 1933)

Onrechtmatige daad
Telah diketahui dalam lapangan hukum perdata perbuatan melawan hukum biasa di sebut dengan terminology ‘onrechtmatige daad’.Biasanya mendengar kata perbuatan melawan hukum, orang langsung tertuju pada Pasal 1365 BW sebagai aturan yang bersifat genus yang menjadi referensi bagi peraturan-peraturan khusus yang juga mengatur mengenai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1365 BW juga biasa disebut sebagai ketentuan all catches atau pasal keranjang sampah. Namun demikian ketentuan tersebut justru merupakan pemicu dan pemacu untuk terjadinya penemuan hukum (rechtsvinding).Melalui pasal ini, hukum yang tidak tertulis menjadi diperhatikan oleh undang-undang.Ini terbukti baik dalam doktrin maupun yurisprudensi di mana telah terjadi pergeseran arti (dari sempit ke arti yang luas). Setidak-tidaknya ada dua putusan H.R. Belanda yang mengartikan perbuatan melawan hukumdalam arti sempit (formil) yakni Arrest 6 Januari 1905 yakni Arrest Mesin Jahit Singer dan Arrest 10 juni 1910 mengenai De Zutphense Juffrouw Arrest.
Pergeseran ke arti yang luas, seperti saya telah jelaskan di atas terlihat dalam Arrest Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu Lindenbaum Cohen Arrest. Melawan hukum dipandang sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaedah kesusilaan, dan kepatutan dalam masyarakat.
Saya sendiri menganut ajaran yang luas itu. Saya mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang saja tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat.

WederrechtelijkdanOnrechtmatig dalam Hukum Pidana Korupsi
Kiranya batas-batas wederrechtelijk dan onrechtmatige daad sudah jelas seperti apa yang telah saya uraikan di depan. Seperti telah saya katakan bahwa ajaran wederrechtelijk dalam lapangan hukum pidana memiliki dua fungsi yakni fungsi positif dan fungsi negatif.
Hukum pidana korupsi nampaknya menganut kedua fungsi ajaran sifat melawan hukum tersebut di atas. Penjelasan Umum Undang-undang No. 3 tahun 1971 menyiratkan digunakannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif dengan menyebut ‘sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formil dan materiil’. Namun demikian dalam praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam arti negatiflah yang telah digunakan. Yurisprudensi mengenai tindak pidana korupsi menyatakan bahwa apabila terdapat keadaan antara lain Negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan kepentingan umum terlayani, maka hapuslah sifat melawan hukumnya perbuatan.
Sedangkan Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 tahun 1999 tegas-tegas menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.Pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Hal yang sama juga dijumpai dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang jelas-jelas menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini (Pasal 2-pen-) mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Seperti telah saya nyatakan di depan bahwa perkataan melawan hukum adalah sesuatu yang masih umum (genus) sehingga dengan demikian harus diberi arti yang nyata. Benturan dengan asas legalitas (formil) dalam hukum pidana (positif-KUHP-) dan penghormatan terhadap HAM maka menurut Prof.Indriyanto, penggunaaan ajaran ini (sifat melawan hukum dalam fungsi yang positif) harus digunakan dengan sangat selektif, hati-hati dan ketat.
Menarik untuk dikaji karena RUU-KUHP telah tidak lagi sepenuhnya menganut ajaran legalitas formil melainkan asas legalitas yang materiil, artinya dalam menentukan suatu tindak pidana, tidak lagi semata-mata menyandarkan pada peraturan perundang-undangan melainkan juga pada hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Secara ratio legisbisa diterima mengingat kata Prof.Moeljatno bahwa hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Variabel lain yang barangkali perlu dikaji pula adalah kenyataan bahwa secara formal, sejak tahun 1999, kita telah memasuki era otonomi daerah. Daerah memiliki kewenangan yang relatif besar dan ini bisa juga termasuk dalam menggali nilai-nilai budaya termasuk hukum setempat yang selama ini tidak terpelihara.
Kedua variable di atas secara paralel akan sangat mendukung bagi pertumbuhan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif disatu sisi- juga sekaligus fungsi yang
negatif- (walaupun harus diingat bahwa harus digunakan secara sangat hati-hati dan ketat). Pada sisi yang lain, hal itu juga bermanfaat dalam mendorong hakim untuk melakukan penggalian dan penemuan hukum (rechtsvinding), yang akhirnya tentu sangat bermanfaat bagi kepentingan legal reform, utamanya dalam kebijakan formulasi dan aplikasi dalam penegakan hukum (pidana korupsi).
Berbeda dengan ajaran sifat melawan hukum materiil (utamanya dalam fungsi yang positif) dalam lapangan hukum pidana, ajaran yang sama dalam hukum perdata lebih leluasa berkembang ditandai dengan banyaknya yurisprudensi MA yang telah menganut ajaran sifat melawan hukum dalam arti yang luas.
Kaitannya dengan problem yang sedang kita bicarakan adalah, adakah peran ajaran melawan hukum dalam hukum perdata kaitannya dengan hukum pidana korupsi?
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya secara normatif, secara umum peran Hukum Perdata dalam turut menegakkan hukum pidana korupsi telah ada antara lain telah tercermin dalam proses kriminalisasi atau pada kebijakan penegakan hukum pada fase formulasi peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat 1(a) Undang-undang No. 3 tahun 1971, Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun 1999 telah mencantumkan ‘melawan hukum’. Keduanya diberi arti yang luas, arti mana secara historis merupakan produk dari pergulatan asas dalam lapangan Hukum Perdata.
Kontribusi Hukum Perdata dalam Hukum Pidana Korupsi lebih banyak terletak pada hukum acaranya. Seperti diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999 membuka ruang bagi Negara untuk menggugat secara perdata apabila terjadi hal-hal:
a. Penyidik berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana tidak terdapat cukup bukti sedang secara nyata telah terjadi kerugian keuangan Negara;
b. Tersangka meninggal dunia saat penyidikan padahal nyata-nyata telah ada kerugian keuangan negara, gugatannya ditujukan kepada ahli warisnya, dan
c. Terdakwa meninggal dunia saat persidangan padahal nyata-nyata terjadi kerugian negara, gugatan ditujukan kepada ahli warisnya.

Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hukum perdata memang memungkinkan berdasar “Titel Umum” di mana segala hak berikut segala kewajiban dari pewaris, sejak ia meninggal dunia jatuh/beralih sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban ahli warisnya.
Lebih jauh, bahkan Undang-undang No.20 Tahun 2001, dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa : “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.
Selain dari hal di atas oleh karena Undang-undang anti korupsi menempatkan badan hukum (rechtspersonen) sebagai subyek hukum maka pola pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang tersebut dalam Pasal 1367 BW juga berlaku bagi gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi.

Kesimpulan
Akhirnya kita harus sama-sama menyadari bahwa tindak pidana korupsi telah berkembang begitu pesat, sistemik dan merambah ke seluruh lini dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga upaya pemberantasannyapun memerlukan upaya yang sistemik dan luar biasa pula.
Masyarakat internasional sangat menaruh perhatian akan upaya tersebut. United Nations Convention against Corruption pada tataran international dan terakhir masih segar dalam ingatan kita, dalam Forum Law Summit III yang diselenggarakan di Mahkamah Agung pada tataran nasional, tanggal 16 April lalu, kita semua menyadari perlunya langkah strategis pembenahan sistem dan pembaruan hukum merupakan salah satu prasyarat pencegahan perbuatan korupsi.
Dalam tataran formulasi dan aplikasi, peran serta hukum perdata baik hukum perdata formil maupun materiil telah Nampak disana.Namun demikian berhasil/tidaknya penegakan ketentuan normatif akhirnya semua berpulang pada kesungguhan dan profesionalitas para penegak hukum yang berada pada tataran kebijakan aplikasi.
0 komentar

Anti Monopoli 2


disusun oleh:

                   AGUNG ROMADHON                              ( 20210311 )
                        AGUNG SATRIO                                        ( 20210312 )
                        FAHMI DANU SAPUTRA                         ( 29210719 )
                        HERU HERMAWAN                                  ( 23210282 )
                       MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )

KELAS : 2 EB 06

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
ditinjao dari Hlrkom Bisnis
Denny Slamet Pribadi
Universitas Mulawarman Samarinda

Abstract: Vast business development in Indonesia has caused the rise of business groups conglomeration.
This phenomena brings both positive and negative social-economic impacts. The negative is that costumers,
small and middle class business players becoming weakened Monopoly and trust has been a crucial
problem in this country. The larger the company, the larger its possibility to be involved in monopoly. Big
companies and their conglomerations acquisifed almost entire markets and therefore prohibitedsome new
entry barriers consisted of middle-lower business playersfrom entering the markets. The monopoly would
have been formed when a company or agroup of companies had aqnisited 40% of the market. Lmv No 5 Year
1999 On Monopol:, Prohibition and Unhealthy Business Competition, in general contains 6parts ofregulations:
on prohibited types of business contracts, prohibited octivities, dominant position, flze foundation
of Business Competition Monitoring Commission (KPPU), law enforcement and some other rules. This
article seeks to describe several aspects of efforts for preventing unhealthy business competition through
law and regulation in order to create a fair and condusive business atmosphere.

Peluang-peluang usaha yang tercipta selama dasarwsa yang lalu dalarn kenyataannya belum membiat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selamaperiode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintan yang kurang tepat sehingga pasar menjadi perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang didukung oleh adanya hubungan saling teikait antarapengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-undang dasar 1945.

URGENSI UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI
Sebagai salah satu efek negatif dari eksistensi usaha konglomerat adalah manakala dapat menimbulkan monopoli pasar. Semakin besar snatu perusahaan, tenhl semakin besar pula kemungkinan monopolinya. Dengan menguasai pangsa pasar yang lebih besar dan menghambat para pengusaba baru first e m y barrier) yang umumnya merupakan pengusaha menengah ke bawah. Unsur monopoli ini umumnya telah terbentuk jika suatu perusahaan atau kelompok perusahaan telah menguasai pangsa pasar minimal 40%.
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut, menuntut kita untuk mencern~atdi an menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta dapat dihindarkan pemusatan kekuatan ekonomi pada pe:o:angan atz; ke!orr.pok tertexeL, antzra lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Monopoli dilarang karena berbagai aspek negatiEnya, antara lain:
·         Ketinggian harga Karena tidak ada kompetisi, maka harga produk akan tinggi, ini mendorongtimbulnya infksi hingga merugikan masyarakat has.
·         Excess Profit Yaitu terdapatnya keuntungan di atas keuntungan normal. Karenanya, monopoli merupakan suatu perantara ketidakadilan.
·         Eksploitasi Ini dapat te jadi baik terbadap bwuh dalam bentuk upah, lebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnyamutu produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen.
·         Pemborosan Karena perusahaan monopoli cendernng tidak beroperasi pada average cost yang minimum, menyebabkan ketidakhematan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung oleh konsumen.
·         Entry Barrier Karena monopoli menguasai pangsa pasaryangbesar, maka perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke bidang perusahasn tersebut, sehingga pada gilirannya nanli akan mematikan usaha kecil.

UNDANG-UNDANG LAWIGAN PW-KTIKMONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHATIDAK SEHAT
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Fraktik Ivionopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat ini secara umum mengandung 6 bagian pengaturan yaitu; tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas persaingan usaha (KPPU), penegakan hukum serta ketentuan-ketentuan lain. Untuk mengawali pemaparan tentang bagian
pengaturan Undang-undang ini akan dimulai dengan penjelasan tentang beberapa pengertian atau konsep tentang Praktik Monopoli dan Persaingal Tidak Sehat.

Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dilarang dilakukan diatur dalamBab IV undang-undang h i muiai pasal17-24. kegiatanyang dilarang oleh undang-undang ini adalah bempa: monopoli, mouopsoni, penguasaan pasar dan persekongkoian.

Tentang Posisi Dominan
Tentang posisi dominan diatur dalam Bab V yaknimulai pasal25-29 seperti diuraikan berikut ini:
Bahwa secara umum pelaku usaha dilarangmenggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
·         menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun halitas; atau
·         membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
·         atau
·         menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud di atas apabila:
·         Satu peiaku usaha atau satu iceioinpok peiaku usaha menysai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
·         Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku menguasai 75% (tujuh Puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Tugas, Wewenang Dan Pembiayaan Komisi
Menurut pasal35 UUNomor 5 Tahun 1999, tugas komisi meliputi: (a) melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. (b) melakukan penilaian teihadap
kegiatan usaha dan atan tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan te jadinya praktik monopoli adan atau peisaiilgan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal24; (c) melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan ushaa tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal25 sampai dengan Pasai 28; (d) mengambil tindakan sesuai
dengan wewenang komosi sebagaimana diatur dalam pesal 36; (e) Memberikan saran dan pertirnhangafi terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; (f) Menyusun pedoman dan atau publikasi yang herkaiatan dengan undang-undang ini; (g) Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komosi kepada Presiden dan Dewan Penvakilan Rakyat. Sedangkan wewenang komisi (pasal36) meliputi:
a)      Menerima laporan dari masyarakat dan atau pelaku usahatentang dugaan terjadinya praktik monopoli
b)      dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c)      Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atan tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinyapraktik monopoli dan ztau persaingan usaha tidak sehat;
d)      Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingzn uhasa tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pe!aku usahz atau yang ditexukzz a!& komisi sebagai hasil dan penelitiannya;
e)      Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f)       Memanggil pelaku usaba yang didugatelah melakukan pelanggaran terhadap ketenman undang-undang ini;
g)      Memanggil dan menghadifkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undangundang ini;
h)      Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan humf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
i)        Meminta keterangan dan instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaba yang melznggar ketentuan undang-undang ini;
j)        Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokuken, atau alat bukti lain guna penyelidikan daan atau pemeriksaan;
k)      Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya ke~ugiand i pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
l)        Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang didnga melakukan praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat; I. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.

Kesimpulan
Timbulnya kelompok-keiompok raksasa konglomerat dalam bisnis usaha memberikan dampak positifnyadan negatif. Dampak positif perkembangan dunia bisnis mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga perekonomian mengalami kemajuan yang pesat pula, namun di sisi la& juga telah menimbulkan dampak negatif berupa tidak terlindunginya usaha kecil maupun konsumen.
 
;