disusun oleh:
AGUNG ROMADHON ( 20210311 )
AGUNG SATRIO ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA ( 29210719 )
HERU HERMAWAN ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06
Batas-batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum
Perdata dan Hukum Pidana Kaitannya dengan Hukum Pidana Korupsi
Oleh : Hisar Tambunan, SH.,MH
Abstraksi
Sejarah bangsa ini dalam usaha untuk memberantas perbuatan
korupsi boleh dibilang telah cukup panjang. Secara formal setidak-tidaknya
telah lahir empat generasi undang-undang yakni undang-undang No. 24 Prp tahun
1960, Undang-undang No.3 tahun 1971, undang-undang No.31 tahun 1999, dan
terakhir undang-undang No.20 tahun 2001. Semua produk undang-undang itu
merupakan kebijakan formulatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Kesadaran terhadap pemberantasan korupsi juga dijiwai oleh
nilai-nilai yang berubah dari masa ke masa.Kalau pada awal-awal aksi
pemberantasan korupsi nilai yang dianut adalah bahwa perbuatan korupsi
merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan/perekonomian Negara dan
menghambat pembangunan nasional.Dalam perkembangannya perbuatan korupsi
dipandang sebagai penghambat bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur,
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efisiensi tinggi, dan pada akhirnya perbuatan korupsi dipandang sebagai
perbuatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas sehingga
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Menyadari hal itu maka lembaga Negara tertinggi, MPR,
sampai-sampai mengeluarkan produk berupa Tap No.XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Keseluruhan usaha diatas harus dilihat sebagai sesuatu yang
positif dalam arti bahwa telah tumbuh kesadaran bersama sedemikian rupa guna
melakukan reformasi terhadap substansi perundang-undangan agar legalitas
pemberantasan korupsi makin lengkap dan kokoh.Lengkap karena
perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai legalitas bagi pengadilan
untuk mengadili terdakwa korupsi makin lengkap.Di samping itu dukungan dari
sisi hukum acara, penegak hukum dan masyarakat luas baik nasional maupun
internasional serta seluruh sistem yang terkait tidak kalah penting dalam turut
memberantas tindak pidana korupsi.
Dari sekian aspek penting yang dapat dibaca dalam pengantar, saya
akan melihat bagian tertentu dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi dalam
penegakan hukum khususnya proses kriminalisasi yakni perihal aspek perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad)dalam hukum perdata atau perbuatan
melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hukum pidana.
Wederrechtelijk
Bagian itu menjadi penting utamanya dalam konteks
kriminalisasi karena sejak keluarnya Undang-undang No.3 Tahun 1971, kata
“melawan hukum” yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan menjadi semacam ‘bestanddeel delict’ atau delik inti
dari suatu perbuatan korupsi {Pasal 1 ayat (1) huruf a}. Undang-undang No. 31
Tahun 1999 mengulanginya lagi dalam Pasal 2 ayat (1)-nya.
Saya akan mulai dari ‘wederrechtelijk’ dalam hukum pidana. Telah
diketahui secara luas bahwa suatu perbuatan pidana (strafbaarfeit)
intinya adalah feit yang ‘wederrechtelijk’ atau perbuatan yang
melawan hukum.Ukuran normatif untuk menentukan dapat dipidananya perbuatan
dalam hukum pidana sudahlah jelas karena Hukum Pidana memiliki asas umum yang
harus dijunjung tinggi yakni asas legalitas (legality principle), Nullum
delictum nulla poena sinepraevia legi poenali –tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya-. Sering juga dipakai istilah ‘Nullum
crimen sine lege stricta’ -tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas- yang
terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi jelas bahwa untuk adanya pidana (straf)
harus didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan
perundang-undangan.
Hukum Pidana Korupsi adalah hukum pidana khusus. Sebagai hukum
pidana khusus maka asas-asasumum (algemene beginselen) yang terdapat
dalam Buku I KUHP berdasar Pasal 103 KUHP dapat berlaku untuk tindak pidana
khusus diluar KUHP kecuali ia menentukan lain. Dengan demikian langkah
pemberantasan korupsi harus dimulai dan selalu didasarkan pada formulasi
perundang-undangan.Hal itu –seperti saya katakana di atas- telah dimulai secara
formal pada tahun 1964-.
Kembali kepada persoalan ‘melawan hukum ‘. Diketahui pula bahwa
dalam hukum pidana –seperti juga dalam hukum perdata yang akan saya uraikan
kemudian- telah terjadi pergeseran pengertian mengenai ajaran sifat melawan
hukum. Doktrin yang kemudian terkristal dalam Arrest Hoograad pertama-tama
mengartikan melawan hukum sebagai ‘melawan undang-undang’ (wet). Ini
harus dimengerti karena apabila kita menengok pada sejarah lahirnya asas
legalitas, antara lain karena pertimbangan adanya asas politik agar rakyat
mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang, sehingga dalam Declaration
Des Droits De L’Homme Et DuCitoyen tahun 1789 dinyatakan :‘Tidak ada orang
yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada
sebelumnya’. Mr.Simons adalah salah seorang yang menganut ajaran formil ini.
Ajaran itu mulai bergeser kea rah pendirian melawan hukum yang
materiil yang di negeri Belanda pertama-tama ditandai dengan keluarnya Arrest
Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu LindenbaumCohen Arrest.
Dalam Arrest itu H.R Belanda menyatakan bahwa : “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) adalah bukan saja perbuatan yang
bertentangan dengan wet,
tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.
Mr.Vost adalah salah satu penganut ajaran ini.
Namun demikian, dalam menentukan dapat tidaknya suatu
perbuatan diancam dengan pidana (tentu di lapangan hukum pidana) seperti sudah
saya katakan di atas harus tunduk pada asas legalitas (formil) yang tersebut
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.Dengan demikian ajaran sifat melawan hukum materiil
dalam fungsi yang positif, tidak dianut dalam hukum pidana.Sebaliknya hukum
pidana (termasuk Hukum Pidana Indonesia) berpendirian untuk mengikuti ajaran
sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Di negeri Belanda
sendiri fungsi negatif ini telah dianut tersebut dalam Arrest Dokter
Hewan dari kota Huizen (Putusan H.R. 20 Februari 1933)
Onrechtmatige daad
Telah diketahui dalam lapangan hukum perdata perbuatan melawan
hukum biasa di sebut dengan terminology ‘onrechtmatige daad’.Biasanya mendengar
kata perbuatan melawan hukum, orang langsung tertuju pada Pasal 1365 BW sebagai
aturan yang bersifat genus yang menjadi referensi bagi peraturan-peraturan
khusus yang juga mengatur mengenai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1365 BW juga biasa disebut sebagai ketentuan all
catches atau pasal keranjang sampah. Namun demikian ketentuan tersebut
justru merupakan pemicu dan pemacu untuk terjadinya penemuan hukum (rechtsvinding).Melalui
pasal ini, hukum yang tidak tertulis menjadi diperhatikan oleh
undang-undang.Ini terbukti baik dalam doktrin maupun yurisprudensi di mana
telah terjadi pergeseran arti (dari sempit ke arti yang luas). Setidak-tidaknya
ada dua putusan H.R. Belanda yang mengartikan perbuatan melawan hukumdalam arti
sempit (formil) yakni Arrest 6 Januari 1905 yakni Arrest Mesin
Jahit Singer dan Arrest 10 juni 1910 mengenai De Zutphense Juffrouw
Arrest.
Pergeseran ke arti yang luas, seperti saya telah jelaskan di
atas terlihat dalam Arrest Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919
yaitu Lindenbaum Cohen Arrest. Melawan hukum dipandang sebagai berbuat
atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak subyektif orang
lain, kewajiban hukum pelaku, kaedah kesusilaan, dan kepatutan dalam
masyarakat.
Saya sendiri menganut ajaran yang luas itu. Saya mengartikan
perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan
undang-undang saja tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan
kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas
masyarakat.
WederrechtelijkdanOnrechtmatig dalam Hukum
Pidana Korupsi
Kiranya batas-batas wederrechtelijk
dan onrechtmatige daad sudah jelas seperti apa yang telah saya
uraikan di depan. Seperti telah saya katakan bahwa ajaran wederrechtelijk dalam
lapangan hukum pidana memiliki dua fungsi yakni fungsi positif dan fungsi
negatif.
Hukum pidana korupsi nampaknya menganut kedua fungsi ajaran
sifat melawan hukum tersebut di atas. Penjelasan Umum Undang-undang No. 3 tahun
1971 menyiratkan digunakannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi
yang positif dengan menyebut ‘sarana melawan hukum yang mengandung pengertian
formil dan materiil’. Namun demikian dalam praktik peradilan ajaran sifat
melawan hukum materiil dalam arti negatiflah yang telah digunakan.
Yurisprudensi mengenai tindak pidana korupsi menyatakan bahwa apabila terdapat
keadaan antara lain Negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan
kepentingan umum terlayani, maka hapuslah sifat melawan hukumnya perbuatan.
Sedangkan Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 tahun 1999
tegas-tegas menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang
positif.Pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat
harus dituntut dan dipidana. Hal yang sama juga dijumpai dalam Penjelasan Pasal
2 ayat (1) yang jelas-jelas menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini (Pasal 2-pen-) mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
Seperti telah saya nyatakan di depan bahwa perkataan melawan
hukum adalah sesuatu yang masih umum (genus) sehingga dengan demikian
harus diberi arti yang nyata. Benturan dengan asas legalitas (formil) dalam
hukum pidana (positif-KUHP-) dan penghormatan terhadap HAM maka menurut
Prof.Indriyanto, penggunaaan ajaran ini (sifat melawan hukum dalam fungsi yang
positif) harus digunakan dengan sangat selektif, hati-hati dan ketat.
Menarik untuk dikaji karena RUU-KUHP telah tidak lagi
sepenuhnya menganut ajaran legalitas formil melainkan asas legalitas yang
materiil, artinya dalam menentukan suatu tindak pidana, tidak lagi semata-mata
menyandarkan pada peraturan perundang-undangan melainkan juga pada hukum yang
hidup dimasyarakat (living law). Secara ratio legisbisa diterima
mengingat kata Prof.Moeljatno bahwa hampir semua hukum Indonesia asli adalah
hukum yang tidak tertulis.
Variabel lain yang barangkali perlu dikaji pula adalah
kenyataan bahwa secara formal, sejak tahun 1999, kita telah memasuki era
otonomi daerah. Daerah memiliki kewenangan yang relatif besar dan ini bisa juga
termasuk dalam menggali nilai-nilai budaya termasuk hukum setempat yang selama
ini tidak terpelihara.
Kedua variable di atas secara paralel akan sangat mendukung
bagi pertumbuhan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif
disatu sisi- juga sekaligus fungsi yang
negatif- (walaupun harus
diingat bahwa harus digunakan secara sangat hati-hati dan ketat). Pada sisi
yang lain, hal itu juga bermanfaat dalam mendorong hakim untuk melakukan
penggalian dan penemuan hukum (rechtsvinding), yang akhirnya tentu
sangat bermanfaat bagi kepentingan legal reform, utamanya dalam
kebijakan formulasi dan aplikasi dalam penegakan hukum (pidana korupsi).
Berbeda dengan ajaran sifat melawan hukum materiil (utamanya
dalam fungsi yang positif) dalam lapangan hukum pidana, ajaran yang sama dalam
hukum perdata lebih leluasa berkembang ditandai dengan banyaknya yurisprudensi
MA yang telah menganut ajaran sifat melawan hukum dalam arti yang luas.
Kaitannya dengan problem yang sedang kita bicarakan adalah,
adakah peran ajaran melawan hukum dalam hukum perdata kaitannya dengan hukum
pidana korupsi?
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya secara normatif, secara
umum peran Hukum Perdata dalam turut menegakkan hukum pidana korupsi telah ada
antara lain telah tercermin dalam proses kriminalisasi atau pada kebijakan
penegakan hukum pada fase formulasi peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ayat
1(a) Undang-undang No. 3 tahun 1971, Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31
tahun 1999 telah mencantumkan ‘melawan hukum’. Keduanya diberi arti yang luas,
arti mana secara historis merupakan produk dari pergulatan asas dalam lapangan
Hukum Perdata.
Kontribusi Hukum Perdata dalam Hukum Pidana Korupsi lebih
banyak terletak pada hukum acaranya. Seperti diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33
dan Pasal 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999 membuka ruang bagi Negara untuk
menggugat secara perdata apabila terjadi hal-hal:
a. Penyidik berpendapat bahwa
satu atau lebih unsur tindak pidana tidak terdapat cukup bukti sedang secara
nyata telah terjadi kerugian keuangan Negara;
b. Tersangka meninggal dunia saat
penyidikan padahal nyata-nyata telah ada kerugian keuangan negara, gugatannya
ditujukan kepada ahli warisnya, dan
c. Terdakwa meninggal dunia saat persidangan padahal
nyata-nyata terjadi kerugian negara, gugatan ditujukan kepada ahli warisnya.
Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hukum perdata memang
memungkinkan berdasar “Titel Umum” di mana segala hak berikut segala kewajiban
dari pewaris, sejak ia meninggal dunia jatuh/beralih sepenuhnya menjadi hak dan
kewajiban ahli warisnya.
Lebih jauh, bahkan Undang-undang No.20 Tahun 2001, dalam Pasal
38 dinyatakan bahwa : “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang
diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.
Selain dari hal di atas oleh
karena Undang-undang anti korupsi menempatkan badan hukum (rechtspersonen)
sebagai subyek hukum maka pola pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability) yang tersebut dalam Pasal 1367 BW juga berlaku bagi gugatan
perdata dalam tindak pidana korupsi.
Kesimpulan
Akhirnya kita harus sama-sama menyadari bahwa tindak pidana
korupsi telah berkembang begitu pesat, sistemik dan merambah ke seluruh lini
dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga upaya pemberantasannyapun memerlukan
upaya yang sistemik dan luar biasa pula.
Masyarakat internasional sangat menaruh perhatian akan
upaya tersebut. United Nations Convention against Corruption pada tataran
international dan terakhir masih segar dalam ingatan kita, dalam Forum Law
Summit III yang diselenggarakan di Mahkamah Agung pada tataran nasional,
tanggal 16 April lalu, kita semua menyadari perlunya langkah strategis
pembenahan sistem dan pembaruan hukum merupakan salah satu prasyarat pencegahan
perbuatan korupsi.
Dalam tataran formulasi dan aplikasi, peran
serta hukum perdata baik hukum perdata formil maupun materiil telah Nampak
disana.Namun demikian berhasil/tidaknya penegakan ketentuan normatif akhirnya
semua berpulang pada kesungguhan dan profesionalitas para penegak hukum yang
berada pada tataran kebijakan aplikasi.