Minggu, 03 Juni 2012

Hukum Perikatan


disusun oleh:
AGUNG ROMADHON                     ( 20210311 )
AGUNG SATRIO                           ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA                 ( 29210719 )
HERU HERMAWAN                       ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI    ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06
 
KEKALAHAN PERTAMINA VS KARAHA BODAS CO DALAM PERADILAN ARBITRASE INTERNASIONAL
HARRY KATUUK
No.Pokok 45 100 15
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Suatu perikatan harus dilakukan secara sukarela, karena perikatan secara yuridis bersandar pada asas kebebasan berkontrak yaitu kesepakatan kontrak itu tidak dipaksakan untuk dilakukan tetapi harus bersumber pada kehendak dan itikad baik. Apabila kontrak telah disepakati dan disahkan maka dasar hukum dari kekuatan suatu kontrak adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian acapkali ditemukan wanprestasi terhadap kontrak yang telah disepakati. Oleh karena itu untuk mengatasi sengketa di antara para pihak ditawarkan cara penyelesaian perkara yaitu melalui peradilan atau penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dikenal dengan mediasi dan konsinyasi. Sedangkan penyelesaian perkara di luar peradilan umum dikenal lembaga arbitrase dan lembaga litigasi. Kedua lembaga ini lahir karena undang-undang yang mengatur lembaga peradilan umum yang ada saat ini dipandang kurang mampu untuk menjamin terselesaikannya masalah yang disengketakan. Hal ini disebabkan karena sedemikian banyak masalah harus diselesaikan oleh pihak pengadilan sehingga harus menunggu giliran dan ditambah lagi dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, para pihak lebih suka menggunakan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum/non-litigasi untuk menyelesaikan perkaranya,baik dengan cara mediasi, negosiasi, konsiliasi ataupun arbitrase. Paradigma non-litigasi ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution (Adi Sulistiyono 2006:5).

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah faktor-faktor apa sajakah penyebab kekalahan Pertamina melawan KBC ?

Tujuan dan Kegunaan
a. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kekalahan Pertamina (mewakili negara) berhadapan dengan KBC, serta untuk mengetahui pula penyebab sehingga putusan arbitrase internasional sulit untuk dieksekusi.
b. Sedangkan kegunaan makalah ini adalah untuk memberikan sumbangsih pemikiran tentang peranan arbitrase internasional bagi pihak yang memilih sengketa untuk diselesaikan oleh lembaga arbitrase di luar peradilan umum yaitu lembaga arbitrase internasional.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase menurut R.Subekti (1981:1) berasal dari bahasa Latin ar bi tr ar e yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolaholah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Sedangkan Munir Fuady (2000:12) secara teknis merujuk pada orang yang menyelesaikan sengketa di mana arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang sering juga disebut dengan pengadilan wasit. Sehingga para “arbiter“ dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya seorang “wasit“ (referee).
Menurut UUArbitrase Pasal 1 butir 1 dikatakan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Atau menurut penafsiran penulis arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang berkompeten menurut undang-undang. Tujuan penanganan sengketa ini adalah untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat.

Dasar Hukum Berarbitrase
Dasar hukum berarbitrase adalah:
a.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
c. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan United Nation Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitrase Awards (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrasi Asing, yang lebih dikenal dengan Konvensi New York 1958).

Ruang Lingkup Arbitrase Internasional
Penjelasan Pasal 66 UUArbitrase menyebutkan bahwa ruang lingkup arbitrase menyangkut kegiatan-kegiatan dalam hukum perdagangan antara lain perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industrial dan hak kekayaan intelektual.
Zaeni Asyhadie (2005:214) mengatakan bahwa ruang lingkup arbitrase jika dilihat dari pengertian arbitrase akan meliputi semua jenis sengketa dalam bidang keperdataan, misalnya sengketa di bidang bisnis, perburuhan/ketenagakerjaan.
Dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC) bermula pada ditandatanganinya Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang terletak di Gunung Karaha dan Telaga Bodas Desa Sukamenak, Garut, Jawa Barat dengan kapasitas listrik 400 Mega Watt. Pertamina sebagai pelaksana mewakili negara dan KBC sebagai pengemban serta PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan sepakat untuk menyelesaikan sengketa di luar peradilan umum melalui peradilan arbitrase internasional. Ketika terjadi wanprestasi KBC mengajukan gugatan perdata kepada Pertamina dan PLN di peradilan Arbitrase Unicitral di Jenewa-Swiss.

Simpulan
Penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan oleh para pihak dengan memilih lembaga arbitrase internasional seyogianya putusan arbiter internacional itu ditaati. Dalam kasus Pertamina melawan KBC terlihat bahwa pihak Pertamina banyak melakukan manuver-manuver hukum yang secara subjektif mengurangi kredibilitas Pertamina sebagai Lembaga Negara yang profesional.
Berbagai upaya hukum mulai negoisasi sampai beracara di peradilan dengan argumen ketertiban umum semuanya ditolak oleh arbiter sehingga Pertamina wajib mentaati kompensasi membayar tuntutan KBC sekitar Rp. 2,1 trilyun. Suatu jumlah yang besar yang merugikan keuangan negara. Uang sejumlah itu apabila Pertamina tidak wanprestasi, dapat digunakan untuk membiayai sekitar 1000 Sekolah selama 1 tahun. Ke depan pemerintah harus tanggap, jangan menganggap remeh gugatan pengemban asing, dan seyogianya juga pihak Indonesia harus siap kapanpun juga untuk membela kepentingan negara untuk melindungi kerugian negara dalam berperkara di luar peradilan, khususnya dalam berarbitrase.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;