disusun oleh:
AGUNG ROMADHON ( 20210311 )
AGUNG SATRIO ( 20210312 )
FAHMI DANU SAPUTRA ( 29210719 )
HERU HERMAWAN ( 23210282 )
MUHAMMAD ALWAN ALBADRANI ( 24210617 )
KELAS : 2 EB 06
TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI
Hasan Jauhari*)
Abstrak
Saat ini sekitar 60 negara dari 200an negara di dunia ini telah memiliki undang-undang anti monopoli atau undang-undang yang mengatur tentang larangan praktek persaingan usaha yang tidak sehat, sebagai upaya pengaturan ekonomi yang mengarah pada meningkatkan efisiensi, mewujudkan iklim usaha yang kondusif serta upaya menjamin kesejahteraan masyarakat. Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur persaingan usaha yaitu Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini melarang beberapa bentuk perjanjian dan kegiatan praktek bisnis serta posisi dominan dari suatu perusahaan. Disamping itu undang-undang ini memberikan pengecualian kepada usaha kecil dan koperasi yang melayani angotanya dari praktek yang dilarang. Lalu apakah pengecualian ini merupakan hal yang semestinya diberikan kepada usaha kecil dan koperasi, bagaimana memaknai pengecualian ini agar tidak menimbulkan persoalan lain dalam pemberdayaan usaha kecil dan koperasi, apa konsekuensinya bila usaha kecil dan koperasi melakukan praktek yang dilarang sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut,
mampukah usaha kecil dan koperasi memanfaatkan pengecualian ini sebagai strategi berkompetisi. Tulisan ini mengetengahkan tinjauan dalam memaknai pengecualian yang diberikan oleh undang-undang tersebut serta membahas konsekuensinya bagi pemberdayaan usaha kecil dan koperasi.
Semangat Undang-Undang Nomor 5
Secara umum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 lahir dalam rangka mendorong persaingan yang sehat sehingga iklim berusaha lebih fair, dan kondusif untuk menjamin industri yang kompetitif bisa tumbuh dan berkembang serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin. Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pada dasarnya melarang tiga hal pokok yaitu a) perjanjian
yang dilarang, b) kegiatan yang dilarang serta c) posisi dominan dalam pasar. Pelaku usaha yaitu usaha besar dan menengah dilarang melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengendalikan produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya praktek memonopoli atau terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam undang-undang tersebut maka hanya usaha besar dan menengah saja yang terkena larangan, karena Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 secara tegas memberikan pengecualian kepada usaha kecil dan koperasi.
Perjanjian yang dilarang oleh undang-undang ini adalah a) membuat perjanjian penetapan harga jual suatu produk atau jasa, b) melakukan diskriminasi harga, c) melakukan boikot, d) membuat perjanjian tertutup, e) industri yang berbentuk oligopoli, f) melakukan predatory pricing, g) melakukan pembagian wilayah, h) membentuk kartel, i) melakukan praktek trust, serta j) membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Disamping adanya pelarangan atas perjanjian dan perilaku tertentu juga dilarang praktek yang memanfaatkan posisi dominan dalam pasar. Semua praktek yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara universal diyakini sebagai bentuk yang tidak fair karena tindakan tersebut akan mengarah pada terciptanya struktur pasar yang
monopolistik.
Dalam pasar yang monopolistik baik tindakan yang dilakukan oleh perusahaan akan berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat yang dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Perusahaan secara sepihak menetapkan harga jual produk lebih tinggi dengan cara membatasi produk yang dijual dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bandingkan seandaimya pasar berbentuk kompetisi sempurna, konsumen akan menikmati harga lebih rendah karena barang yang tersedia di pasar juga lebih banyak bukan saja jumlahnya tetapi juga variasinya, karena produsen cenderung melakukan deferensiasi (tingkat harga pada PC dan kuantitas pada tingkat QC).
2. Perusahaan melakukan diskriminasi harga kepada konsumen dengan mengeksploitasi kesediaan konsumen membeli produknya. Bila hal ini dilakukan oleh perusahaan (penjual), maka perusahaan akan memperoleh semua surplus konsumen yang seharusnya dinikmati oleh konsumen. Hal ini terjadi karena harga jual perusahaan monopoli dengan menggunakan kaidah MR=MC sebenarnya masih lebih rendah dari pada tingkat harga kesediaan sebahagian konsumen untuk membayar.
3. Cenderung kurang adanya dorongan bagi perusahaan monopoli untuk melakukan inovasi pengembangan produknya karena tidak memiliki pesaing. Padalah inovasi yang intensif sangat diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang.
4. Sumberdaya tidak dialokasikan dan dimanfaatkan secara efisien baik sebagai akibat pembatasan produksi oleh perusahaan monopoli, maupun sebagai akibat tingginya barriers to entry, sehingga sumberdaya tidak tergarap oleh calon perusahaan lain.
5. Perusahaan monopoli acapkali berasosiasi pula dengan perilaku yang tidak fair seperti predatory pricing, penetapan harga yang mematikan bagi usaha lain yang berarti menghalangi kesempatan berusaha, menciptakan disparitas antar pelaku, menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan dampak negatif sosial ekonomi ikutan lainnya.
Rasionalisasi Pengecualian Bagi Usaha Kecil dan Koperasi
Adakah alasan yang dapat diterima sehingga usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya dikecualikan dari larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pengecualian ini tentu tidak boleh bertentangan dengan maksud untuk menjamin alokasi sumberdaya yang efisien serta jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Ada beberapa argumentasi yang dapat ditelusuri atas pengecualian yang diberikan kepada usaha kecil dan
koperasi yang melayani anggotanya sebagai berikut:
1. Pengecualian bagi Usaha Kecil
Pengecualian bagi usaha kecil dari larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dapat diterima karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Dampak ekonomis. Manakala usaha kecil secara individu melakukan praktek sebagaimana yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka diperkirakan tidak memiliki dampak ekonomis yang membahayakan bagi masyarakat luas.
b. Skala usaha. Batasan skala usaha yang ditetapkan dalam undangundang dapat digunakan sebagai batas kapan sebuah perusahaan boleh melakukan praktek yang dilarang. Seandainya usaha kecil melakukan praktek yang dilarang untuk membesarkannya menjadi usaha menengah, maka begitu dia menduduki kategori sebagai usaha menengah saat itu pula dia terlarang dari praktek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
c. Ketebatasan kapasitas. Usaha berskala kecil diyakini tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menguasai pasar, dengan demikian tidak ada dorongan dan insentif untuk melakukan praktek monopolisasi dalam rangka menguasai pasar, mengingat sebahagian praktek yang dilarang hanya mungkin dilakukan dengan biaya yang besar. Terutama berkaitan dengan strategi untuk mematikan usaha lainnya. Sebagai ilustrasi tidaklah mungkin bagi usaha berskala kecil untuk dapat melakukanpredatory pricing, karena boleh jadi hal itu justru mematikan usaha itu sendiri karena kehabisan dana untuk melakukan perang harga.
d. Jumlah pelaku. Jumlah pelaku usaha berskala kecil relatif sangat bayak, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk melakukan upaya penyatuan kekuatan seperti kartel menjadi kekuatan yang memonopoli.
e. Price taker. Posisi usaha berskala kecil yang berstatus sebagai price taker secara psikologis tidak memiliki ruang pilihan untuk mempengaruhi pasar.
2. Pengecualian bagi koperasi
Untuk koperasi yang melayani anggotanya, pengecualian dari larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dapat diterima karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Karakter unik. Koperasi yang menjalankan prinsip dasarnya secara konsekuen (genuine cooperative) adalah bentuk badan usaha yang unik. Kehadiran anggota sebagai pemilik dan pelanggan atau pengguna layanan koperasi, secara universal diakui dan memberikan keistimewaan kepada koperasi untuk melakukan diskriminasi antara anggota dan non anggota. Secara alami koperasi memang harus melakukan diskriminasi terhadap non anggotanya.
b. Countervailing power. Koperasi justru diyakini sebagai instrumen untuk mengkoreksi kegagalan pasar. Bila koperasi berkembang dengan pesat diberbagai sektor dan kegiatan dan diyakini akan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat. Peranan koperasi sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi kapitalis dengan mudah dapat diamati di negaranegara maju.
c. Value based. Koperasi berbeda dengan badan usaha swasta pada umumnya. Koperasi merupakan badan usaha yang menjunjung tinggi sistem nilai bagi upaya mensejahterakan anggotanya dan masyarakat pada umumnya. Prinsip dasar koperasi tidak terbatas berorintasi
meningkatkan kesejahteraan anggotanya saja akan tetapi juga peduli pada lingkungan. Dalam prinsip dasar koperasi ICA butir yang ke-7 menyakatan kepedulian koperasi terhadap lingkungan. Hal ini diyakini bahwa koperasi tidak akan semena-mena menjalankan strategi yang
mematikan bagi usaha lain.
d. Kepentingan orang. Koperasi lebih berorientasi pada perwujudan kesejahteraan orang perorang bukan sekelompok pemilik modal. Koperasi dengan jumlah anggota yang banyak akan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kalaupun seandainya koperasi memiliki kekuatan yang memonopoli sebagai sebuah perusahaan atau beberapa perusahaan yang bergabung, maka hasilnya tetap dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak karena sifat keanggotaannya terbuka bagi masyarakat banyak.
e. Kapasitas. Untuk kasus di Indonesia kondisi koperasi masih belum berkembang dengan baik sebagaimana diharapkan dan sebagaimana layaknya koperasi-koperasi besar di beberapa negara maju. Dengan kata lain koperasi Indonesia tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan upaya memonopolisasi pasar dan koperasi masih diasosiasikan sebagai usaha berskala kecil. Dengan demikian kaidah pengecualian bagi koperasi sama halnya dengan pengecualian bagi usaha berskala kecil, dengan demikian manakala usaha kecil dikecualikan dari
larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka selayaknya koperasi juga diberikan perlakuan yang sama.
Undang-Undang Nomor 5 dan Upaya Pemberdayaan KUMKM
Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara umum memberikan lingkungan bisnis yang semakin kondusif bagi semua pelaku usaha termasuk bagi usaha berskala kecil dan koperasi. Beberapa konsekuensi logis dari adanya undang-undang anti monopoli termasuk pengecualian bagi usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Persaingan antara usaha besar dan menengah akan semakin fair sehingga memperbesar peluang usaha kecil dan koperasi untuk berusaha dibeberapa sektor ekonomi, seperti sektor perdagangan.
2. Usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya yang mendapat pengecualian dari larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat menggunakan praktek yang dilarang tersebut sebagai strategi dalam berkompetisi.
3. Bagi koperasi praktek diskriminasi dapat dijadikan daya tarik agar masyarakat bergabung dalam wadah koperasi. Perbedaan pelayanan yang signifikan antara pelayanan kepada anggota dan kepada non anggota merupakan sumber keunggulan bisnis koperasi. Di mata anggota pelayanan koperasi harus lebih baik, lebih efisien dan lebih menguntungkan. Bila koperasi mampu meperlihatkan perbedaan kualitas pelayanan kepada anggota, maka makin banyak masyarakat bergabung dalam wadah koperasi yang diyakini makin besar dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat.
4. Bagi usaha kecil upaya melakukan strategi bersama semacam kartel dapat dijadikan sebagai cara meningkatkan bargaining power menghadapi kekuatan mengarah pada oligopsonis dan oligopolis.
5. Mengingat di satu sisi pengecualian bagi usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya dapat dijadikan sebagai strategi dalam meningkatkan daya saing, akan tetapi di sisi lain praktek yang sama juga dapat menimbulkan dampak persaingan yang tidak sehat diantara sesama usaha kecil dan koperasi. Hal ini terutama manakala usaha kecil dan koperasi melakukan praktek yang tidak fair yang secara sengaja untuk mematikan usaha kecil lainnya. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengamati perilaku bisnis usaha kecil dan koperasi menggunakan kaidah role of reason. Kaidah ini menjadi penting dalam melihat apakah suatu praktek bisnis usaha kecil dan koperasi merugikan masyarakat atau tidak.
Kesimpulan
1. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan iklim yang makin kondusif bagi dunia usaha untuk berkompetisi secara fair. Usaha kecil dan koperasi diuntungkan dari lahirnya undang-undang ini karena dikecualikan dari pelarangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
2. Pengecualian yang diberikan kepada usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya, memberikan ruang praktek berkompetisi yang lebih luas. Dengan demikian ketentuan undang-undang ini dapat dijadikan sebagai wahana permberdayaan usaha kecil dan koperasi.
3. Mengingat pengecualian yang diberikan kepada usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya bersifat umum, tanpa ada penjelasan dan syarat serta kondisi tertentu, maka penyalahgunaan dari pengecualian tersebut dapat saja dilakukan oleh usaha kecil dan koperasi, sehingga berakibat buruk bagi pengembangan wahana kecil dan koperasi itu sendiri secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar